Sunday, November 3, 2013

Ada Harga, Ada Rupa

Kebijakan "Pendidikan Gratis" di kabupaten tempat saya mengabdi ini (harusnya) membawa kebaikan bagi semua orang, khususnya bagi anak usia sekolah. Alhasil, banyaklah anak usia sekolah berdatangan dari luar kota maupun luar provinsi dan luar pulau untuk bersekolah di sini. Bagus memang,tapi kalau masih ada anak lokal yang justru malas bersekolah, malah diisi anak luar pulau, tepat sasaran nggak ya? Anyway yang jelas sih implikasinya membuat anak-anak dan orangtua terbiasa dengan sistem gratisan kalau menyangkut urusan sekolah. Awal masuk sekolah, misal kelas X (sepuluh) untuk SMA, mereka harus membayar uang seragam dan kelengkapannya. Pembayarannya tentu saja bisa dicicil. Biasanya yang disediakan sekolah hanya pakaian batik dan stelan olahraga. Juga ikat pinggang, topi, dasi, jilbab. Kalau beginian minta digratisin lagi mah gatau diri namanya. Buku tulis dan alat tulis juga tidak digratiskan tentu saja. Tapi guru dilarang menyuruh siswa membeli buku atau LKS. Kalau mau beli sendiri ya terserah. Pokoknya guru dilarang menjual buku atau LKS. Kemarin berlangsung pertemuan Kepsek, guru, dan orangtua/wali murid kelas XII atau kelas 3 yang dibarengi dengan pembagian raport mid semester, membahas bimbel menjelang UN dan perpisahan. Awalnya oleh Waka Kurikulum disampaikan kesepakatan dari sekolah sistem bimbel adalah siswa bebas memilih mapel apa saja yang ingin diikuti dan berapa jumlah pertemuan yang diperlukan. Untuk satu pertemuan dari pihak sekolah menyepakati Rp 7.500. Dengan perhitungan cukup untuk bensin seliter, paling tidak. Ketika ditanya ke orangtua/wali murid, tentang setuju atau tidak. Malah ada yang menawar Rp 5.000. Saya yang ada di situ langsung berpikir, mending orangtua/wali murid nggak mau bayar bimbel biar tak ada bimbel sekalian, nggak repot. Kepsek dam Waka Kurikulum yang agak terganggu malah melontarkan pernyataan, "Sekolah sudah gratis, yang tidak mampu diberikan beasiswa, masak bimbel tidak mau membayar." Jadi mikir kalimat jokes yang "Gratisan kok minta selamat." Jadi mikir, waktu seseorang pun sebenarnya tidak bisa dihitung gratis since there is quote "Time is Money". Lha ini waktu dan ilmu yang dikasih. Akhirnya tidak ada kesepakatan mereka sanggup membayar berapa dan muka beberapa yang hadir sudah merengut (termasuk muka saya pastinya). Setelah membahas bimbel yang diinginkan 5 ribu per pertemuan, mereka disodorkan gambaran rincian acara perpisaha. Sekali lagi, perpisahan itu ditawarkan. Jika tidak ada yang mau, ya tidak usah diadakan. Kalau sekolah yang disuruh membayarkan, anggarannya tidak ada. Sama seperti bimbel. Dengan rincian 750 ribu (bisa dicicil) untuk perpisahan dan yearbook, mereka juga terkesan berat. Soal perpisahan sih kami guru tak terlalu repot. Tapi soal bimbel yang ditawar lima ribu itu. Aduh. Ada harga ada rupa. Bandingkan dengan lembaga bimbel yang ratusan ribu sampai sejuta yang pasti pendekatannya beda dengan guru sendiri (tanpa mengecilkan arti para tentor bimbel). Nah ini minta lima ribu bahkan kalau bisa gratis. Padahal kewajiban guru memberikan layanan (pendidikan dan pengajaran) seprima mungkin. Rasanya kok nilai pendidikan jadi kecil sekali. Pasti karena terbiasa gratis.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...