Monday, November 12, 2012

Mahapatih

Ini bukan nama fans nya Kerispatih. Anggaplah patih di zaman kerajaan dulu. Tugasnya mungkin mendekati personal assistant zaman sekarang. Tapi ini mencakup semuanya, termasuk juru pikir, juru bicara, juru jilat. Kebetulan yang juru ini guru.

Jadi kalau rajanya kurang pikir kurang siasat, niscaya si juru ini akan menjadi raja kecil. Nggak papa kecil, yang penting raja. Kalau rajanya kurang pikir kurang siasat, yang untung si raja kecil ini.

Ada urusan perang yang menjadi kepentingan panglima perang, patih yang menghadang raja dan bilang, "Biar saya saja. Panglima kurang berdedikasi dan agak malas."

Ada pertemuan urusan ekonomi yang menjadi tugas bendahara kerajaan dia pula yang mengajukan diri dan bilang, "Dia suka menggelapkan uang dan membengkakkan anggaran." Ada pertemuan urusan pendidikan yang harusnya tugas mahaguru, dia yang menawar raja dan bilang, "Mahaguru itu kurang pintar dan sering alpa dalam tugas. Biar saya saja."

Akhirnya raja bilang ke semua petinggi kerajaan, "Hanya Mahapatih yang bisa saya andalkan. Yang lain bahkan tidak bisa dikatakan sebagai pelengkap. Perlu didisiplinkan lebih lanjut." Akhirnya mahapatih hidup bahagia karena pandai menjilat dan adu domba. Hidup lama sambil menunggu karma.

Gambar dari www.masksoftheworld.com


Published with Blogger-droid v2.0.4

Wednesday, September 12, 2012

Missing

Akhir-akhir ini (let's say last 2 weeks),  murid menghilang sedang nge-trend di SMA saya. Setidaknya 2 minggu ini sudah ada 3 kasus. Ada yg menghilang sendiri, ada yang bareng temen deket. Kalau kabur dari rumah sih bukan tanggungan sekolah. Masalahnya kaburnya dari sekolah. Ortunya mengira si anak sekolah, tapi nggak pulang-pulang.


Ada yang sudah kembali ke pangkuan ortu. Ditanya kemana, ternyata tinggal di rumah cowoknya. Yaksip. Kalau di US, pasangan yang dah pacaran lama pun nggak serta merta hidup bersama. Perlu pemikiran, kesepakatan, dll. Kalau ini kok kayaknya nggak dipikir-pikir, main langsung pindah tidur aja.


Ada lagi yang kabur karena males di rumah. Males dipaksa sekolah kali. Entah. Kalau sampai kabur dari rumah pasti rumahnya yg nggak enak. Easy to say eh. I've a daughter now. Meski masih bayi dan belum berkesempatan dating dsb, tapi saya udah jadi ortu. Ortu harus menyadari gimana bikin nyaman si anak agar betah di rumah. Gimana caranya anak lebih milih untuk kumpul dengan keluarga instead of being with someone else.


Entahlah, mungkin memang gejolak darah muda remaja sekarang yang ingin lebih cepat dewasa. Tapi malah nggak dewasa karena nggak mikir panjang. Jadi inget masa SMA, saya sudah pisah dengan ortu, pulang ke rumah seminggu sekali. Bisa pulang aja udah feels like in heaven. Rumah justru tempat terindah di dunia waktu itu.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Monday, August 20, 2012

Para Kepsek

Setelah UN berlalu, pas ada jadwal mutasi dan pelantikan, tiba-tiba Sang Beliau Kepala Sekolah dimutasi ke Disdik, dengan jabatan khusus. Anggap saya lupa jabatannya. Tapi kepala sub bidang lah. Lumayan. Beliau senang pastinya. Banyak pihak yang juga senang. Saya yang masih cuti hanya dengar lewat SMS. Tentu tidak senang.





Maksudnya tidak senang bukan berarti saya iri Beliau dikasih jabatan dan pindah ke Kantor. Sama sekali bukan. Saya tidak mengincar hal semacam itu. I love being a teacher. Kok mendadak jadi tentang saya? Intinya saya merasa kehilangan Kepsek yang terbaik yang pernah memimpin saya, pada saat program memajukan sekolah masih bergelantungan menunggu untuk dilaksanakan.





Beberapa nama muncul menjadi nominasi pengganti Sang Beliau. Ada kepsek dari SMA di pedalaman sono. Orangnya pintar sih, master of engineering gitu lah. Chemistry pula. Tapi sosialisasinya gundul. Kaku. Misal saya juri audisi, akan saya bilang "next!"





Lalu ditunjuk pelaksana tugas kepsek, yaitu Bu Ani yang waktu tes kepala sekolah tahun ini mendapat peringkat 1. Oke beliau fresh graduate lah. Orangnya agak diktator, beberapa kolega di sekolah saya mungkin agak menolak kalau dia yang diangkat jadi kepsek di sekolah saya.





Selama kepsek dijabat oleh Plt, ada nama lain bersliweran. Ada kepsek lain, dari SMP yang sudah RSBI. katanya sih dia hobi travelling dan sistem keuangannya kabur. Oke, next!





Setelah menjalani tirakat setiap malam diiringi dengan spekulasi dan gosip-gosip dari Disdik, akhirnya penantian saya terjawab pas pelantikan sebelum libur puasa kemarin. Sekaligus menjawab rasa penasaran tiap orang. Ternyata Pak Jamin, guru sekaligus waka bidang kurikulum senior dari SMA 1. Mengikuti tes calon kepsek seangkatan dengan Bu Ani, tapi pas wajib magang, beliau yang magangnya di SMA 8 ga pernah muncul tuh. Ujuk-ujuk datang minta tanda tangan aja. Yah, at least orangnya santun, penyabar, dan ga pernah marah katanya. Yah well, itu yang dibutuhkan dari seorang kepala sekolah. Benarkah? Well, next!


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tuesday, June 12, 2012

UN-expected

Pengumuman kelulusan tanggal 26 Mei lalu menyisakan tanda tanya besar di kepala saya. Sebenarnya nilai-nilai UN yang menghebohkan setiap tahun hampir selalu menyisakan pertanyaan besar. Meski tak pernah terjawab secara pasti. Jadi kami hanya mereka-reka.





Tahun lalu mapel Kimia di sekolah saya, berdasarkan nilai rata-rata hanya berada di grade C. Rata-ratanya kalau tidak salah ingat sih 5,9 atau 5,75. Atau 6 ya? Lupa. Dengan nilai tertinggi 8,25 kalau tidak salah. Diraih oleh siswa yang bukan "chemistry master" meski dia termasuk pemerhati pelajaran saya.





Tahun ini, saya sebenarnya harus bangga dan bersyukur meski harus berbagi itu dengan substitute saya (saya cuti hamil) karena kimia berada di grade A. Yeiiiyyy! Ya, substitute saya mulai menangani anak-anak sebulan sebelum UN. Tidak penuh sebulan memang, karena ada tryout dan ujian sekolah. Entah kenapa saya faktor sebulan itu membuat saya berpikir kalau justru itulah yang ampuh.





Ibarat kata gini. Saya punya pasukan yang akan maju perang. Saya membekali mereka dengan perlengkapan perang yang menurut saya sudah memadai untuk mereka, minimal untuk dapat bertahan hidup. Sampai di garis depan, saya tak lagi bisa mengiringi mereka. Tugas saya diganti oleh Panglima Arin. Dia mengecek dan ternyata perlengkapan itu sangat kurang. Pas Panglima Arin tanya, mana ini, mana itu, pasukan saya bilang, "Rasanya sudah dibekali tapi hilang di jalan, atau kami buang ya? Atau jangan-jangan belum dibekali ya? Lupa, Panglima." Akhirnya Panglima Arin membekali ulang. Karena sudah di garis depan, rasanya kok susah untuk dihilangkan.





Akhirnya, nilai rata-rata 7,99. Daaannn, nilai tertinggi milik murid saya yang nggak ada minat-minatnya sama sekali dengan pelajaran. Bukan cuma Kimia. Bukan anak yang rajin juga cerdas. Nilainya 9,25. Salah 3 doang. Enak ya nilai UN sampai segono. Nilai EBTANAS Kimia saya aja dulu hanya mendekati 7. Lho, kok sirik? Saya nggak mau ngomongin pelajaran lain ya. Meski math ada yang 10. Sayang kalau nggak diomongin hehe. Bisa nggak sih nir-salah? Ternyata bisa. Diraih oleh murid yang jarang masuk sekolah karena dia atlet yang sering keluar kota. Tapi dia memang lumayan pintar.





Intinya nilai rendah membuat saya galau. Nilai tinggi nggak juga bikin happy karena bertanya-tanya, dapat jawaban dari mana?








Published with Blogger-droid v2.0.4

Tuesday, June 5, 2012

Sentuhan

Anggap saja ada guru agama di suatu sekolah. Yang namanya guru agama, anggap saja tahu, mana yang muhrim, mana yang bukan. Mana yang boleh disentuh, mana yang tidak boleh. Atau kalau pun harus menyentuh, mungkin boleh kalau terpaksa. Misal membopong saat pingsan. Lalu bagaimana kalau pakaian sudah tertutup dan berjilbab tapi masih muncul sentuhan? Masa perempuan lagi yang disalahkan? Anggap saja ada murid perempuan kelas X mengadu kepada orangtuanya kalau (anggap saja) dia telah dilecehkan oleh (anggap saja) guru agamanya. Anggap saja murid ini diberikan tugas di luar kelas. Anggap saja guru agama ini entah kenapa mengambil ponsel si murid di kantong bajunya. Anggap saja ada sentuhan ke (maaf) dada. Anggap saja ini seperti sengaja dilakukan karena dia melakukan berulang. Anggap saja bukan hanya itu. Si guru meminta secara eksplisit untuk dicium. Jika murid menolak, anggap saja guru itu mengancam akan memberi nilai jelek. Akhirnya, ortu murid mengancam akan melapor ke polisi, namun anggap saja sekolah memilih bertanggung jawab dan membujuk ortu untuk tidak melapor. Lalu bagaimana? Anggap saja tidak ada yang tahu selain para guru, kepala sekolah, serta murid yang dilecehkan dan ortunya. Anggap saja si murid tidak curhat ke teman/sahabatnya. Anggap saja ortunya merahasiakannya dari tetangga, keluarga, dan teman mereka. Anggap saja para guru tidak bercerita kepada suami/istri/teman mereka. Anggap saja saya menulis fiksi. Maka pelecehan ini akan tetap tersimpan dan si guru agama tetap tenang. Anggap saja selama ini guru itu tidak pernah memukul (maaf) bokong atau mencolek pinggang murid perempuan. Anggap saja guru itu tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Monday, June 4, 2012

Sengketa Jam

quiet the mind, to truly hear.

Peraturan kalau guru "wajib" mengajar 24 jam seminggu emang hampir selalu jadi masalah. Masih lekat di ingatan saya tentang jam mengajar Matematika yang saya ambil sedikit tahun lalu. Itu juga bikin rempong dan ribut. Padahal cuma sedikit. Gimana kalau dua dikit.
Kali ini menimpa guru BK. Jadi, guru BK dianggap mengantongi jam belajar 24 jam kalau membawahi (untuk konseling) sekira 150 siswa (kurang lebihnya saya ga ingat, tapi sekira itu lah). Nah, siswa di sekolah itu ya kurang lebih segitu. Jadi pas. Ujuk-ujuk datang guru BK baru dari Kota M. Pindah ikut suami. Biasa, via orang-orangnya si "ono". Maka dapatlah guru BK ini, sebut saja Ibu Mafitah, posisi di sekolah kami. Entah ya, sekolah kami ni seakan posisi yang nyaman untuk tempat tujuan pindah. Anak pindahan bermasalah, pindahan karena mencari sekolah gratis dari Provinsi SS, pindahan karena bosan di sekolah asal, dsb. Maklum, tempatnya tak jauh dari perkotaan (perkotaan mana maksudnya?). Jadi posisi menentukan nasib. Nasib baik? Tidak juga, nasib kedatangan orang baru sampai membludak. Posisi dekat dengan perkotaan cuma SMA Super dan sekolah kami. SMA Super ya nggak mau menerima orang semberengen, akhirnya "diantar" ke sekolah kami.
Back to Guru BK. Mau tak mau guru BK sebelumnya harus berbagi siswa dengan si Mafitah ini. Tapi, Ibu Mafitahnya marah dan merasa dicurangi karena pembagian siswa dianggap tidak adil. Guru BK lama mendapat lebih banyak (dan rasanya masih memungkinkan untuk mendapat TPP. Untuk yang satu ini saya tidak tahu pasti gimana persyaratannya). Karena Mafitah minta jumlah siswa disamakan, akhirnya Guru BK lama jadi ga bisa dapat TPP. Komplain lagi. Kepsek memutuskan untuk mengubah jumlah secara internal. Dianggap dua guru ini cukup mengajar 24 jam seminggu (semacam manipulasi). Eh, ada yang ribut lagi, si Bu Ani. Dia bilang, nanti kalau ketahuan, sekolah yang kena bla bla bla. Akhirnya kedua guru BK ini jadi perang dingin.
Suatu waktu, pas sekolah sepi (rasanya pas Try Out). Karena menjelang cuti hamil, saya ga ikut ngawas TO. Saya iseng keliling sekolah, lewatin ruang ujian, ruang TU, sampai akhirnya ke ruang guru. Hanya ada mereka berdua di situ (guru-guru BK). Saya masuk, mereka sedang diam, duduk bersebelahan, tidak saling menatap. Saya duduk di depan guru BK lama, akan memulai obrolan, ternyata si BU Mafitah langsung bicara. Tenang, tidak ketus, tidak nyaring, katanya, "Saya tidak enak dilihat anak-anak dan guru lain, sesama guru BK kok diem-dieman. Jadi tolong Ibu jangan menyimpan masalah dengan saya."
Guru BK lama bilang, "Saya tidak merasa ada masalah dengan Ibu. Saya tidak keberatan ...." (seterusnya lupa).
Bu Mafitah, "Kalau saya dianggap mengambil jam Ibu, saya keberatan, karena saya juga merasa tidak ada keadilan di sini."
Saya ngeloyor pergi. Ternyata sedang "berantem".
Pas saya nongkrong di ruang TU, datang guru BK lama. Lalu dia bercerita pada saya dan Reny sambil menangis. Intinya dia jengkel, karena kedatangan guru baru dan langsung minta berbagi jam dengannya. Kalau jam dibagi, otomatis dia tidak akan mendapat tambahan penghasilan which is sangat berharga buat dia. Sementara, Bu Mafitah bilang, dia ga masalah ga dapat TPP karena sejak dulu dia selalu merasa kecukupan, tak pernah kurang. Bukan masalah uang. Ciri orang songong, ribut soal uang tapi ujung2nya bilang: Bukan masalah uangnya, saya tak pernah berkekurangan bla bla bla, seolah tidak butuh uang. Siapa yang tidak butuh uang? Makin tersinggung guru BK lama dan bilang. Kalau saya jelas masalah TPP karena saya bekerja untuk mencari uang.
Singkat cerita, hari-hari berikutnya mereka berseteru dan Heather ikut memanas-manasi. Kali ini dia berada di pihak Ibu Mafitah entah untuk alasan apa. Dia malah yang paling kencang marahnya. Ga tau masalah dia apa. Kabarnya sekarang dia mendapat jam tambahan di sebuah SMK. Atau dua buah? Entahlah, yang penting semua happy. Maksudnya semua dapat TPP.

Monday, January 23, 2012

Hamil

Zaman dulu, waktu saya masih SMA (SMU waktu itu), kalau ada anak sekolah yang hamil, sekolahnya dicap jelek. Dianggap tempat berkumpulnya "anak nakal". Well itu dulu. Lalu berlomba-lomba lah setiap sekolah agar jangan sampai ada yang dihamili, at least sampai selesai EBTANAS. Singkatnya, dulu hal itu dianggap aib seaib-aibnya. 
Sekarang, mungkin masih aib, tapi rasanya udah enggak aib seaib-aibnya. Aib kadar normal. Rasanya kalau ada sekolah yang menelurkan pelajar hamil, yah sudah, paling juga dikeluarkan. Kalau si anak bisa berinisiatif menggugurkan dan sekolah pura-pura tidak tahu, maka selamatlah.
Di sekolah saya, setidaknya ada 1 kasus tiap tahun. Malu? Atas kapasitas saya sebagai apa sehingga saya mesti malu? Paling cuma diejek kolega dan kawan (waktu saya belum hamil): "Ih, kalah ya sama muridnya." Saya, seperti biasa cuma nyengir.
Jadi begini ya, setiap guru ketemu siswa cuma 2-5 jam per minggu. Isinya materi pelajaran. Nyelip-nyelipkan nasihat cuma 15 menit (kalau saya sih, nggak tahu guru lain yang suka ngobrol ya). Itu pun isinya seputaran kurangi megang gadget dan kalau ingin bisa mengerjakan soal Mafia (Math, Fisika, Kimia) ya harus banyak latihan soal. That's it. Nggak terlalu sering menyinggung soal gaya berpacaran--paling seputaran  permasalahan dalam pacaran yang bisa mengalihkan semuanya. Urusan putus, selingkuh, cemburu, dan sebagainya. Tentang yang lain, misal mereka pacaran di semak-semak, kuburan, di rumah cowok saat ortunya ga ada, di hotel murmer, saya usahakan nggak pernah masuk ke ranah itu. Karena sepertinya too negative dan agak menuduh. Kecuali untuk anak wali yang mengeluh soal kewanitaan, biasanya saya ya berusaha untuk nggak nuduh dan mengingatkan untuk hidup dan pacaran "bersih" atas nama kesehatan kewanitaan.
Jadi kembali kepada kapasitas sebagai guru. Kalau boleh digeneralisasi, saya dan teman-teman guru sebatas mengingatkan tentang itu. Mereka dikenalkan soal kesehatan reproduksi, ada bidangnya di Pusat Informasi Konseling Remaja. Ada materi tentang kesehatan remaja (sex ed) saat masa orientasi dan ada seminar-seminar tentang perilaku remaja termasuk seks bebas dan narkoba. Ada pelajaran Biologi, ada pengembangan akhlak. Lagian secara total, sekolah cuma menyita sepertiga waktu harian mereka. Itu pun rasanya tidak tersita banget karena anak sekarang lebih cuek dan semau gue. Jadi, masih tanggung jawab sekolah? Jadi salah siapa? Salah sekolah? Salah saya? Salah teman-teman saya? *lho
Kalau ada siswa SMA 8 yang hamil, terus terang saya sedikit merasa kecolongan, tapi tidak lantas menyalahkan diri. Terlebih dari dua kasus terakhir di dua tahun kemarin, mereka sudah hamil besar saat baru beberapa bulan masuk di SMA. Jadi, kalau dihitung-hitung (kepo banget ya ngitung-ngitung) proses pembuatannya ya saat lulus SMP. Toh tidak lantas kita menyalahkan SMP itu.
Di kota yang agak besar, masalah ini toh biasa. Lebih parah bahkan, mainnya udah ke praktik aborsi. Ini bukan rahasia lagi. Jadi, apa saya masih malu kalau ini diketahui orang? Rasanya tidak juga. Apa saya perlu merasa kecolongan? Lumayan. Tapi siapa yang kecolongan? Yang hamil tentunya.

Thursday, January 19, 2012

SIKSA!!*

 
Semesteran kemarin lumayan membuat stres dan agak membuat marah.
Kelas X angkatan 11/12 ini benar-benar memilukan dan bikin pengen jedotin kepala ke tembok. Kepala siapa? Kepala anak-anak itu lah, ngapain juga kepala sendiri. Sakit dunk. 
Rupanya apa yang telah diajarkan ke anak-anak itu, yang sehari-harinya mereka dengan mantap dan gagah bilang: Ngerti, Bu. Gampang, Bu... ketika diujikan di semesteran bersamaan dengan materi yang lain, mereka lupakan. Mungkin dianggap remeh temeh. Udah yakin pernah tau, jadi ga perlu dipelajari lagi. Atau nggak ngerti maksud soal (?!?). Atau nganggap bakal lulus aja? Toh ada remedial.
Yang memuakkan, udah bikin soal capek-capek, berpikir keras, memilah dengan hati-hati sambil berpikir: bisa nggak ya kalau dikasih soal ini? -- Eh ternyata mereka ngerjakannya tutup mata, meramal. Dan salah! Asal silang.
Yang ngajar matematika sampe bilang: Saya nggak mau koreksi pekerjaan mereka, paling juga nilainya 2, 3, 4.
Yang ngasih remedial ngeluh: Apaan, udah remedial soalnya sama, tetep ngejawabnya yang salah.
Saya sih males ngasih remedial, karena sama aja. Dan hampir sekelas remedial. Semua mata pelajaran!
Bayangkan, mereka nanyanya: Bu, kapan remedial ini? Pak, kapan remedial itu? Semua mata pelajaran ditanyai. Hidup kok cuma untuk remedial. Mendingan ga usah belajar sehari-hari. Langsung ujian aja. Toh sama aja. Tapi kalau saya ngomong gitu ke forum guru, dianggap nggak menghargai proses dan malas melakukan proses. Lha wong prosesnya mandeg. Kayak dorong mobil yang ga bisa jalan sama sekali. Kalau mogok aja mending bisa didorong. Model yang ginian anggap aja ga ada ban satu. Ya nggak jalan. Bikin keringetan tapi ga maju-maju.
Akhirnya saya memutuskan meniadakan remedial. Mereka bersorai karena dipikirnya bagus semua. Oke, nilai saya utangi, tapi tar kalau ketemu di semester baru, SAYA SIKSA KAMU! begitu pikir saya. Dilembutin ga mempan, waktunya dikerasi. 
Kadang sih ga peduli, wong Kimia ini. Nggak terlalu vital untuk kehidupan mereka, specifically. Asal tahu dan mengenali zat yang oke atau enggak, manfaatnya dan dampaknya, dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari dan lingkungan, I think that's it. Untuk mereaksikannya, untuk keelektronegatifan, gaya tarik, bentuk molekul yang invisible itu, apa harus semua orang harus tahu? Rasanya tar anakku kalau nggak tau pun aku ga terlalu keberatan. Kecuali kalau minatnya ke situ. Tapi rasanya ga usahlah. 
Nah, kalau udah begitu, balik lagi ke kurikulum sekolah umum, udah efektif nggak sih? Penting semua nggak sih? Soalnya kalau dicampur Geografi, Ekonomi, Fisika, Biologi, Kimia, ditambah Agama (yang masih membingungkan, kenapa juga harus diajarkan di sekolah), rasanya kok kebanyakan dan agak-agak wasting time. Rasanya agak pas kalau dah sesuai minat dari awal. Hahhahaa, kebayang kalau Marissa baca ini, komennya: "Situ guru kok nggak percaya pada pendidikan formal? Kamseupay. Jangan-jangan ijazah palsu."

*amit-amit jabang bayi

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...