Monday, June 4, 2012

Sengketa Jam

quiet the mind, to truly hear.

Peraturan kalau guru "wajib" mengajar 24 jam seminggu emang hampir selalu jadi masalah. Masih lekat di ingatan saya tentang jam mengajar Matematika yang saya ambil sedikit tahun lalu. Itu juga bikin rempong dan ribut. Padahal cuma sedikit. Gimana kalau dua dikit.
Kali ini menimpa guru BK. Jadi, guru BK dianggap mengantongi jam belajar 24 jam kalau membawahi (untuk konseling) sekira 150 siswa (kurang lebihnya saya ga ingat, tapi sekira itu lah). Nah, siswa di sekolah itu ya kurang lebih segitu. Jadi pas. Ujuk-ujuk datang guru BK baru dari Kota M. Pindah ikut suami. Biasa, via orang-orangnya si "ono". Maka dapatlah guru BK ini, sebut saja Ibu Mafitah, posisi di sekolah kami. Entah ya, sekolah kami ni seakan posisi yang nyaman untuk tempat tujuan pindah. Anak pindahan bermasalah, pindahan karena mencari sekolah gratis dari Provinsi SS, pindahan karena bosan di sekolah asal, dsb. Maklum, tempatnya tak jauh dari perkotaan (perkotaan mana maksudnya?). Jadi posisi menentukan nasib. Nasib baik? Tidak juga, nasib kedatangan orang baru sampai membludak. Posisi dekat dengan perkotaan cuma SMA Super dan sekolah kami. SMA Super ya nggak mau menerima orang semberengen, akhirnya "diantar" ke sekolah kami.
Back to Guru BK. Mau tak mau guru BK sebelumnya harus berbagi siswa dengan si Mafitah ini. Tapi, Ibu Mafitahnya marah dan merasa dicurangi karena pembagian siswa dianggap tidak adil. Guru BK lama mendapat lebih banyak (dan rasanya masih memungkinkan untuk mendapat TPP. Untuk yang satu ini saya tidak tahu pasti gimana persyaratannya). Karena Mafitah minta jumlah siswa disamakan, akhirnya Guru BK lama jadi ga bisa dapat TPP. Komplain lagi. Kepsek memutuskan untuk mengubah jumlah secara internal. Dianggap dua guru ini cukup mengajar 24 jam seminggu (semacam manipulasi). Eh, ada yang ribut lagi, si Bu Ani. Dia bilang, nanti kalau ketahuan, sekolah yang kena bla bla bla. Akhirnya kedua guru BK ini jadi perang dingin.
Suatu waktu, pas sekolah sepi (rasanya pas Try Out). Karena menjelang cuti hamil, saya ga ikut ngawas TO. Saya iseng keliling sekolah, lewatin ruang ujian, ruang TU, sampai akhirnya ke ruang guru. Hanya ada mereka berdua di situ (guru-guru BK). Saya masuk, mereka sedang diam, duduk bersebelahan, tidak saling menatap. Saya duduk di depan guru BK lama, akan memulai obrolan, ternyata si BU Mafitah langsung bicara. Tenang, tidak ketus, tidak nyaring, katanya, "Saya tidak enak dilihat anak-anak dan guru lain, sesama guru BK kok diem-dieman. Jadi tolong Ibu jangan menyimpan masalah dengan saya."
Guru BK lama bilang, "Saya tidak merasa ada masalah dengan Ibu. Saya tidak keberatan ...." (seterusnya lupa).
Bu Mafitah, "Kalau saya dianggap mengambil jam Ibu, saya keberatan, karena saya juga merasa tidak ada keadilan di sini."
Saya ngeloyor pergi. Ternyata sedang "berantem".
Pas saya nongkrong di ruang TU, datang guru BK lama. Lalu dia bercerita pada saya dan Reny sambil menangis. Intinya dia jengkel, karena kedatangan guru baru dan langsung minta berbagi jam dengannya. Kalau jam dibagi, otomatis dia tidak akan mendapat tambahan penghasilan which is sangat berharga buat dia. Sementara, Bu Mafitah bilang, dia ga masalah ga dapat TPP karena sejak dulu dia selalu merasa kecukupan, tak pernah kurang. Bukan masalah uang. Ciri orang songong, ribut soal uang tapi ujung2nya bilang: Bukan masalah uangnya, saya tak pernah berkekurangan bla bla bla, seolah tidak butuh uang. Siapa yang tidak butuh uang? Makin tersinggung guru BK lama dan bilang. Kalau saya jelas masalah TPP karena saya bekerja untuk mencari uang.
Singkat cerita, hari-hari berikutnya mereka berseteru dan Heather ikut memanas-manasi. Kali ini dia berada di pihak Ibu Mafitah entah untuk alasan apa. Dia malah yang paling kencang marahnya. Ga tau masalah dia apa. Kabarnya sekarang dia mendapat jam tambahan di sebuah SMK. Atau dua buah? Entahlah, yang penting semua happy. Maksudnya semua dapat TPP.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...