Tuesday, June 12, 2012

UN-expected

Pengumuman kelulusan tanggal 26 Mei lalu menyisakan tanda tanya besar di kepala saya. Sebenarnya nilai-nilai UN yang menghebohkan setiap tahun hampir selalu menyisakan pertanyaan besar. Meski tak pernah terjawab secara pasti. Jadi kami hanya mereka-reka.





Tahun lalu mapel Kimia di sekolah saya, berdasarkan nilai rata-rata hanya berada di grade C. Rata-ratanya kalau tidak salah ingat sih 5,9 atau 5,75. Atau 6 ya? Lupa. Dengan nilai tertinggi 8,25 kalau tidak salah. Diraih oleh siswa yang bukan "chemistry master" meski dia termasuk pemerhati pelajaran saya.





Tahun ini, saya sebenarnya harus bangga dan bersyukur meski harus berbagi itu dengan substitute saya (saya cuti hamil) karena kimia berada di grade A. Yeiiiyyy! Ya, substitute saya mulai menangani anak-anak sebulan sebelum UN. Tidak penuh sebulan memang, karena ada tryout dan ujian sekolah. Entah kenapa saya faktor sebulan itu membuat saya berpikir kalau justru itulah yang ampuh.





Ibarat kata gini. Saya punya pasukan yang akan maju perang. Saya membekali mereka dengan perlengkapan perang yang menurut saya sudah memadai untuk mereka, minimal untuk dapat bertahan hidup. Sampai di garis depan, saya tak lagi bisa mengiringi mereka. Tugas saya diganti oleh Panglima Arin. Dia mengecek dan ternyata perlengkapan itu sangat kurang. Pas Panglima Arin tanya, mana ini, mana itu, pasukan saya bilang, "Rasanya sudah dibekali tapi hilang di jalan, atau kami buang ya? Atau jangan-jangan belum dibekali ya? Lupa, Panglima." Akhirnya Panglima Arin membekali ulang. Karena sudah di garis depan, rasanya kok susah untuk dihilangkan.





Akhirnya, nilai rata-rata 7,99. Daaannn, nilai tertinggi milik murid saya yang nggak ada minat-minatnya sama sekali dengan pelajaran. Bukan cuma Kimia. Bukan anak yang rajin juga cerdas. Nilainya 9,25. Salah 3 doang. Enak ya nilai UN sampai segono. Nilai EBTANAS Kimia saya aja dulu hanya mendekati 7. Lho, kok sirik? Saya nggak mau ngomongin pelajaran lain ya. Meski math ada yang 10. Sayang kalau nggak diomongin hehe. Bisa nggak sih nir-salah? Ternyata bisa. Diraih oleh murid yang jarang masuk sekolah karena dia atlet yang sering keluar kota. Tapi dia memang lumayan pintar.





Intinya nilai rendah membuat saya galau. Nilai tinggi nggak juga bikin happy karena bertanya-tanya, dapat jawaban dari mana?








Published with Blogger-droid v2.0.4

Tuesday, June 5, 2012

Sentuhan

Anggap saja ada guru agama di suatu sekolah. Yang namanya guru agama, anggap saja tahu, mana yang muhrim, mana yang bukan. Mana yang boleh disentuh, mana yang tidak boleh. Atau kalau pun harus menyentuh, mungkin boleh kalau terpaksa. Misal membopong saat pingsan. Lalu bagaimana kalau pakaian sudah tertutup dan berjilbab tapi masih muncul sentuhan? Masa perempuan lagi yang disalahkan? Anggap saja ada murid perempuan kelas X mengadu kepada orangtuanya kalau (anggap saja) dia telah dilecehkan oleh (anggap saja) guru agamanya. Anggap saja murid ini diberikan tugas di luar kelas. Anggap saja guru agama ini entah kenapa mengambil ponsel si murid di kantong bajunya. Anggap saja ada sentuhan ke (maaf) dada. Anggap saja ini seperti sengaja dilakukan karena dia melakukan berulang. Anggap saja bukan hanya itu. Si guru meminta secara eksplisit untuk dicium. Jika murid menolak, anggap saja guru itu mengancam akan memberi nilai jelek. Akhirnya, ortu murid mengancam akan melapor ke polisi, namun anggap saja sekolah memilih bertanggung jawab dan membujuk ortu untuk tidak melapor. Lalu bagaimana? Anggap saja tidak ada yang tahu selain para guru, kepala sekolah, serta murid yang dilecehkan dan ortunya. Anggap saja si murid tidak curhat ke teman/sahabatnya. Anggap saja ortunya merahasiakannya dari tetangga, keluarga, dan teman mereka. Anggap saja para guru tidak bercerita kepada suami/istri/teman mereka. Anggap saja saya menulis fiksi. Maka pelecehan ini akan tetap tersimpan dan si guru agama tetap tenang. Anggap saja selama ini guru itu tidak pernah memukul (maaf) bokong atau mencolek pinggang murid perempuan. Anggap saja guru itu tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Monday, June 4, 2012

Sengketa Jam

quiet the mind, to truly hear.

Peraturan kalau guru "wajib" mengajar 24 jam seminggu emang hampir selalu jadi masalah. Masih lekat di ingatan saya tentang jam mengajar Matematika yang saya ambil sedikit tahun lalu. Itu juga bikin rempong dan ribut. Padahal cuma sedikit. Gimana kalau dua dikit.
Kali ini menimpa guru BK. Jadi, guru BK dianggap mengantongi jam belajar 24 jam kalau membawahi (untuk konseling) sekira 150 siswa (kurang lebihnya saya ga ingat, tapi sekira itu lah). Nah, siswa di sekolah itu ya kurang lebih segitu. Jadi pas. Ujuk-ujuk datang guru BK baru dari Kota M. Pindah ikut suami. Biasa, via orang-orangnya si "ono". Maka dapatlah guru BK ini, sebut saja Ibu Mafitah, posisi di sekolah kami. Entah ya, sekolah kami ni seakan posisi yang nyaman untuk tempat tujuan pindah. Anak pindahan bermasalah, pindahan karena mencari sekolah gratis dari Provinsi SS, pindahan karena bosan di sekolah asal, dsb. Maklum, tempatnya tak jauh dari perkotaan (perkotaan mana maksudnya?). Jadi posisi menentukan nasib. Nasib baik? Tidak juga, nasib kedatangan orang baru sampai membludak. Posisi dekat dengan perkotaan cuma SMA Super dan sekolah kami. SMA Super ya nggak mau menerima orang semberengen, akhirnya "diantar" ke sekolah kami.
Back to Guru BK. Mau tak mau guru BK sebelumnya harus berbagi siswa dengan si Mafitah ini. Tapi, Ibu Mafitahnya marah dan merasa dicurangi karena pembagian siswa dianggap tidak adil. Guru BK lama mendapat lebih banyak (dan rasanya masih memungkinkan untuk mendapat TPP. Untuk yang satu ini saya tidak tahu pasti gimana persyaratannya). Karena Mafitah minta jumlah siswa disamakan, akhirnya Guru BK lama jadi ga bisa dapat TPP. Komplain lagi. Kepsek memutuskan untuk mengubah jumlah secara internal. Dianggap dua guru ini cukup mengajar 24 jam seminggu (semacam manipulasi). Eh, ada yang ribut lagi, si Bu Ani. Dia bilang, nanti kalau ketahuan, sekolah yang kena bla bla bla. Akhirnya kedua guru BK ini jadi perang dingin.
Suatu waktu, pas sekolah sepi (rasanya pas Try Out). Karena menjelang cuti hamil, saya ga ikut ngawas TO. Saya iseng keliling sekolah, lewatin ruang ujian, ruang TU, sampai akhirnya ke ruang guru. Hanya ada mereka berdua di situ (guru-guru BK). Saya masuk, mereka sedang diam, duduk bersebelahan, tidak saling menatap. Saya duduk di depan guru BK lama, akan memulai obrolan, ternyata si BU Mafitah langsung bicara. Tenang, tidak ketus, tidak nyaring, katanya, "Saya tidak enak dilihat anak-anak dan guru lain, sesama guru BK kok diem-dieman. Jadi tolong Ibu jangan menyimpan masalah dengan saya."
Guru BK lama bilang, "Saya tidak merasa ada masalah dengan Ibu. Saya tidak keberatan ...." (seterusnya lupa).
Bu Mafitah, "Kalau saya dianggap mengambil jam Ibu, saya keberatan, karena saya juga merasa tidak ada keadilan di sini."
Saya ngeloyor pergi. Ternyata sedang "berantem".
Pas saya nongkrong di ruang TU, datang guru BK lama. Lalu dia bercerita pada saya dan Reny sambil menangis. Intinya dia jengkel, karena kedatangan guru baru dan langsung minta berbagi jam dengannya. Kalau jam dibagi, otomatis dia tidak akan mendapat tambahan penghasilan which is sangat berharga buat dia. Sementara, Bu Mafitah bilang, dia ga masalah ga dapat TPP karena sejak dulu dia selalu merasa kecukupan, tak pernah kurang. Bukan masalah uang. Ciri orang songong, ribut soal uang tapi ujung2nya bilang: Bukan masalah uangnya, saya tak pernah berkekurangan bla bla bla, seolah tidak butuh uang. Siapa yang tidak butuh uang? Makin tersinggung guru BK lama dan bilang. Kalau saya jelas masalah TPP karena saya bekerja untuk mencari uang.
Singkat cerita, hari-hari berikutnya mereka berseteru dan Heather ikut memanas-manasi. Kali ini dia berada di pihak Ibu Mafitah entah untuk alasan apa. Dia malah yang paling kencang marahnya. Ga tau masalah dia apa. Kabarnya sekarang dia mendapat jam tambahan di sebuah SMK. Atau dua buah? Entahlah, yang penting semua happy. Maksudnya semua dapat TPP.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...