Sunday, September 15, 2013

Lamaran dan Jujuran

Beberapa minggu lalu seorang ibu paruh baya datang ke sekolah. Orang tua murid kelas X. Meminta izin agar anaknya (yang sudah seminggu tak ada kabar) untuk ditambah izinnya. Alasannya, seminggu kemarin anaknya malu ke sekolah karena beredar gosip kalau anak itu akan dilamar, tapi tak kunjung jadi. Mungkin malu karena dianggap sesumbar. Waktu ditanya guru BK kenapa nggak sekolah aja sampai lulus, nanti aja nikahnya. Ibu itu malah bicara ngalor ngidul kalau sebenarnya anaknya masih ingin sekolah tapi pihak lelaki ingin segera menikah. Ya sudah, kata guru. kalau memang maunya begitu, silakan kawin lah. Minta perpanjang izin satu minggu untuk apa lagi? Nanti dulu, kata si ibu. Dalam seminggu ini kami memberi syarat jujuran (besarnya uang syarat melamar) 45 juta. Kalau laki-lakinya tak sanggup, kami batalkan lamaran, lalu dia sekolah lagi. Boleh ya, Bu, tanyanya kepada Waka Kurikulum (mewakili Kepsek saat itu) dan kepada guru BK. Malas menjawab karena memaksa, ya atau tidak mungkin akan sama saja, maka ibu itu pulang. Seminggu kemudian, ibu itu dan anaknya muncul pagi-pagi sekali di sekolah. Kebetulan saya yang ketemu. Saya yang waktu itu tidak mengerti akar masalahnya (dan ga ngeh juga maksud ibu itu pas bicara dengan saya), hanya memintanya menunggu guru BK. Ternyata pacar anak itu tidak menyanggupi si 45 juta ini. Jadilah si anak back to school. Si Emak nggak jadi dapat uang. Saya hanya sempat menerti satu kalimat dari ibu itu saat bicara pada saya, "Bapaknya dia marah-marah, kalau belum sanggup melamar, tidak usah melamar." Jadi nilai anak itu untuk dikasih ke cowoknya 45 juta. Pendidikan terakhir: SMP. Oya, sekolah kami menerimanya untuk tetap bersekolah. Karena yaaa, kebijakan pendidikan gratis, wajib belajar 12 tahun. Semua anak harus sekolah.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...