Friday, March 25, 2011

Jangan Salahkan Siapa-Siapa

Tadi pagi, principal minta waktu sebentar, sekadar diskusi dengan kami, para guru. Bukan rapat dinas karena ga ada makan siang (dan aku ingat karena kelaparan, lupa bawa uang). Principal sharing tentang hasil pertemuan para kepala sekolah dengan Disdik.
Kemarin (12-17 Maret) kan ada pameran pembangunan (or something like that) di Penajam. Nah, stand-nya disdik ini memamerkan sedikit hal. Jadi, kepala bidang pendidikan menengah ini agak marah (emang hobinya marah kan ni orang) karena dari SMA se-Penajam ga ada yang memamerkan hmmm apa ya, alat peraga lah. Guru kan karyanya ya seputaran itu. Yang paling ditodong tentulah SMA 1. SMA 8 yang deket dengan lokasi juga ditodong. Jadi, target kita sekarang adalah alat peraga, untuk dipamerkan tahun depan. Baiklah, itu sudah clear.
Dari situ, merembet ke pembelajaran. Alat peraga kan bertujuan menampakkan sesuatu yang riil yang bisa mewakili setiap pelajaran dan membuat siswa dapat melihatnya secara nyata. (Enak ya anak-anak sekarang. Kalau zaman aku dulu, jangankan riil, omongan guru aja kadang kagak ngarti. Kalau ga bisa dipukuli, dicubiti, disuruh berlutut lah sampe lutut sakit kena pasir di lantai yang catet... bukan ubin keramik). jadi, aku mulai menerawang, secara kimia kan hal yang paling tidak nyata. Atom, ga keliatan, elektron apalagi. Tapi, semuanya harus di-riil-kan.
Merembet ke pembelajaran per individu. Yep, that's rite beibeeh, per individu. approaching-nya harus beda per anak. Mulai dari Heather bilang: "Pak, pengalaman saya, anak-anak itu kalau diterangkan, mengerti. Mengerjakan soal, mengerti. Tapi, pas ulangan, hasilnya jeblok. Ternyata mereka ga pada belajar." "Iya, Pak, bener." Semuanya ikut menimpali, termasuk aku.
Responnya principal: "Kita ini berada di forum resmi, Bapak, Ibu. Saya menggunakan baju dinas, Bapak Ibu juga. Ketika berada di forum resmi, salah jika saya bertanya bagaimana hasil PBM. Lalu Bapak Ibu menyalahkan anak. Kita ini guru, tak berkapasitas menyalahkan anak, ga belajar lah, anak bodoh apalagi. Kecuali saya sedang di kebun, saya pake kaus lusuh, sedang mencangkul, baru bisa Bapak Ibu curhat tentang anak-anak yang malas belajar." Entah gimana, kita tertawa menanggapi beliau. Mungkin tertawa malu, bingung, atau merasa aneh. Aku sih ketawa shock.
Kemudian, Mr. English nyambung."Pak, kalau kita sudah melakukan pendekatan individual dengan anak-anak yang extraordinary, sudah saya jelaskan. Katanya mengerti. Saya tanya ulang, ternyata ga tau. Saya jelaskan lagi, ngerti. Pas saya tes, ga tau. Sampai tiga kali, Pak. Itu bagaimana ya? Harus pake treatment khusus ga ya? Karena saya menjelaskan dengan cara yang paling mudah yang umumnya semua anak mengerti. Ada dua orang, Pak, di kelas X-A. Dan, bukan membela diri, tapi teman-teman lain, di pelajaran lain juga merasakan hal yang sama dengan dua orang itu."
Entah gimana hasilnya jawaban Principal karena setelah itu aku dan Ms. Indonesian izin mau ngajar. Tapi, pas selesai ngajar, aku tanya Bu Ani-Kur, apa jawaban Kepala Sekolah. Katanya, tidak baik juga kalau guru menyalahkan diri sendiri. Yang disalahkan adalah ketidakmampuan. Aku yang sudah semakin lapar, tambah bingung. Jadi, bagaimana? Ya, bilang aja oknum. Oknum apa ini? aku tanya. Ya, oknum!
Sepanjang perjalanan pulang aku mikir, apa aku harus menemui Principal di kebun, saat beliau sedang mencangkul atau istirahat dari mencangkul dan bilang: "Pak, yang namanya DA dan AA itu menurut saya, IQ-nya di bawah rata-rata. Saya berani menantang dua anak itu mengikuti psikotes dan kita akan tahu, dia seharusnya tidak bersekolah di sekolah umum/ biasa."


4 comments:

  1. hihihihhi manknya ada yg IQ jongkok kah bu di kelas x - A?

    ReplyDelete
  2. kurasa si principal whateva itu kebingungan. blum siap ngomong tp udah bikin forum aja.
    dan km benar, sebaiknya menemui die yg lagi nyangkul di sawah =))

    ReplyDelete
  3. mslhny ak belum tau jadwal dy nyangkul bu :)):))

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...